
Lalu setelah selesai makan dan menyambut seruan adzan Sholat isya, saya pun berkunjung ke rumah sebelah. Mulailah pembicaraan kami yang mencoba mengakrabkan diri sesama mahasiswa Borobudur. Lalu pembicaraan kami berlangsung tanpa batas dan kejelasan membahas apa. Ya anak ibu kost di tempat saya, ya soal kerja sambilan, soal hari-hari perkuliahan dan susahnya jadi seorang perantauan. Apan adalah seorang atlit bela diri silat asal kalimantan barat. Dan dia lulusan dari salah satu SMA atlit di kotanya. Luka bekas pertandinganpun menjadi bukti usaha dia selama sekolah dulu. Dan dari ceritanya, saat ini dia ingin membalas kan dendam selama sekolah dulu. Mungkin karena ayahnya adalah seorang atlit karateka, dia pun memaksa anaknya menjadi layaknya dia. Dulu semasa sekolah, Apan hidup di sebuah asrama khusus atlit bela diri. Mulai silat, hanggar, tinju, dan karate. Kehidupan di asrama pun tak sehangat di rumah jelas dia. Dimana waktu lebih banyak terbuang untuk berlatih. Kegiatan belajar pun, hanya dia lakukan di sekolah saja, dan hal yang paling dia jauhi adalah membaca. Dia sangat bersemangat menceritakan tentang berbagai pertandingan yang diikutinya di berbagai kota. Dan hal yang paling dia banggakan adalah foto ketika meraih medali emas di salah satu komperisi di Kalimantan sana. Luka-luka bekas pertandingan pun tak luput dari ceritanya. Mendengar ceritanya, kini Apan layaknya seorang yang baru saja keluar dari penjara. Dimana dahulu hidupnya hanya untuk berlatih, untuk merokok saja dia jarang. Tapi sekarang, satu bungkus rokok adalah menu hariannya, seperti orang balas dendam begitu lah. Dia bilang, kehidupannya kini di jakarta jauh berbeda dengan hidupnya di Kalimantan dulu. Kini, kegiatan dia adalah bangun, mandi, makan merokok sambil main gitar. Begitu terus setiap harinya, sesambil menulis dan menyusun beberapa syair lagu untuk opsesinya yang ingin menjadi musisi saat ini.
Dan di tengah obrolan kami, muncul seorang tua dari dalam rumah kost yang di tempati Apan. Seorang pria tua berambut putih dan berkacamata, mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan kami yang sedang duduk di lantai beranda tempat kost Apan. Sambil memegang rokok di tangan kiri dan menyalami kita berdua. Dia memperkenalkan diri sebagai Bill Clinton. Atau Pak Bill. Sempat ada tawa membias di wajah kami ketika mendengar nama itu. “Wah, jangan-jangan orang ini terdampar dari Amrik lagi,” pikir saya. Lalu dengan meletakkan bungkus rokoknya di lantai, dia pun menawari kami rokok mint miliknya. Obrolan awal kami berawal dari pertanyaan dia yang menanyakan dari suku mana kita ini. Dengan bangga, Apan menjawab dia dari Kalimantan, asli keturunan suku dayak. Lalu di lanjut dengan saya, saya sendiri bingung mau menjelaskan model bagaimana. Lha saya lahir di papua, pernah besar di Jayapura,Wamena,Ambon, Masohi dan Mojokerto. Ayah saya seorang tentara, dan beliau adalah seorang Jawa yang lahir di Ambon karena orang tua ayah saya adalah seorang transmigran. Sedangkan ibu saya lahir di kota Jayapura, namun berasal dari Buton Sulawesi yang juga transmigran ke kota Jayapura. Jika di tanya saya suku apa, maka saya menjawab.”Nusantara”.
Sang pak tua menceritakan pengalaman hidupnya sebagai seorang orangtua dari kedua putrinya. Sesambil menceritakan kisah hidupnya yang pernah berkeliling Indonesia dan beberapa negara tetangga, beliau pun melampirkan beberapa nasihat kepada kita agar tidak menjalani hidup layaknya dia semasih muda. Dulu ketika beliau di suruh kedua orangtuanya untuk berkuliah, dia malah memilih kerja dan tegas dia kepada orangtuanya adalah “Sarjana saja sekarang masih banyak yang nganggur!”. Berbagai kebandelan-kebandelan dia semasa muda, dia buka semua kepada kita yang melongo mendengar cerita dia. Mulai dari kisah memilih istri yang cantik, padahal ketika itu orangtuanya menyarankan dia kepada sesosok wanita yang pandai memasak, dan tentu disukai oleh kedua orangtuanya. Namun dia berkata, kalau dia tidak mencari seorang tukang masak. Dia mencari seorang pendamping hidup. Nah ketika beliau sudah berumah tangga. Barulah sesal itu datang, ketika dalam keadaan sulit, istrinya tidak bisa memasak. Bisanya hanya bersolek terus. Dari saat itu, beliau putuskan untuk merantau. Oia, beliau adalah orang Medan. Logat medannya pun masih sangat kental terasa di sela-sela ucapannya. Dalam rantauannya, beliau sudah pernah ke hampir seluruh Indonesia, dan beberapa negara tetangga. Dan pekerjaan yang di jalani mulai dari pekerjaan kasar hingga kantoran pun pernah dia jalani. Demi mengirim beberapa kepok uang ke anak dan istrinya di kampung.
Dalam obrolan kami itu, dia bercerita tentang pengalamannya hidup di negara tetangga yaitu Malaysia sebagai tukang cuci piring. Di sana, meski gaji yang di dapat oleh seorang tukang cuci piring di Malaysia tidak seberapa, tapi dia masih bisa mengirimkan uang sejumlah Rp. 2.000.000,00 kepada keluarganya perminggu. Lalu, otak saya pun mulai bekerja sendiri. ” Seorang tukang cuci piring warung Cina ? Bisa mengirimka uang dua juta perminggu ? Memang semakmur apa negara tetangga itu ?” pikir saya. Lalu di tengah obrolan, saya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan. “Menurut bapak, apa yang membedakan Negara kita dengan Malaysia?” lalu beliaupun menjawab. Di Malaysia, semua orangnya taat hukum. Tidak bisa orang sembarangan membuka usaha, mentang-mentang rumahnya di pinggir jalan. Semua harus ada ijinnya, sedangkan di Indonesia ? Bisa di demo besar-besaran itu pemerintah kotanya jika berani melakukan demikian. Hufh,, itulah indonesia. Hukum adalah sang maha tinggi, namun tidak setinggi pohon toge. Kecacatan negara kita, adalah berawal dari bisa di belinya sebungkus Hukum. Apalah arti seorang baik jika lingkungan buruknya lebih luas dari jangkauannya. Dari kesimpulan saya, Malaysia dan Indonesia memang jauh berbeda dari banyak sisi. Namun jika boleh saya berpendapat, Indonesia lebih segala-galanya di banding negara itu. Indonesia memiliki beberapa pulau besar yang berisi suku-suku yang beraneka ragam. Dan coba tebak itu apa, yap tentu saja Nusantara dan tidak bukan adalah Indonesia. Negara kita.
Di daerah kos saya saja contohnya, saya sendiri keturunan Jawa-Sulawesi-Papua-Ambon bisa bertemu dengan orang Kalimantan, Medan, Lampung, Nias, dan Jawa. Tentu saja di kota jakarta, di kota yang banyak menjadi meja judi kehidupan seorang perantauan. Kita berkumpul bukan demi uang semata. Kita disini untuk merubah nasib, melalui menempuh kuliah dan ada juga yang bekerja. Kita datang ke kota ini untuk berjudi dengan tuhan. Tak ada acara saling tawar. Semua haruslah di hadapi dengan berpikir singkat. Semua ini untuk keluarga tercinta. Saya datang ke Jakarta untuk berkuliah meninggalkan kedua adik saya serta orangtua di Mojokerto sana. Sedangkan Apan, dia meninggalkan orangtuanya di kampung Kalimantan sana. Pak Bill sendiri, datang merntau ke jakarta untuk beribadah, memberi nafkah kepada anak dan istri yang ia tinggalkan di kampung sana.
Seiring waktu yang berlalu malam minggu itu, mata pun mulai lelah dan kita pun memutuskan untuk mengakhiri perbincangan Nusantara kita yang sangat menarik itu. Ketika kembali ke kamar, terlitas di pikiran saya.
Indonesia begitu beragam.
Indonesia begitu Indah.
Indonesia adalah surga.
Namun kini, Nusantara bak rumah para iblis.
Yang haus akan cantiknya Nusantara.
Dan semua itu, tergantung kesadarang masing-masing Indonesiana.
Marilah kita membangun,
Marilah kita menyadar,
Ini semua,..
Untuk Indonesiaku
Demi Nusantara kita.